Konflik yang terjadi antara bangsa
(dan kemudian, negara-bangsa) Arab dengan bangsa Yahudi, (yang kemudian
mendirikan negara Israe)l pada dasarnya merupakan konflik yang telah berakar
ratusan tahun. Asal mula konflik tersebut dapat ditarik sejak tahun 1881,
dengan adanya pertentangan yang terjadi antara gerakan Zionisme dengan
nasionalisme Arab pada masa akhir abad ke-19. Zionisme merupakan sebuah gerakan
masyarakat Yahudi yang ingin kembali dan memperoleh ‘tanah asli’ mereka. Pada
masa itu, baru sekitar 565,000 rakyat Arab dan 24,000 Yahudi yang tinggal di
wilayah Palestina. Pihak Zionis berpendapat bahwa tanah Palestina merupakan
tanah leluhur mereka dan mereka harus menjadikan tanah tersebut rumah mereka.
Pihak Zionis kemudian berintensi untuk mendirikan sebuah negara otonom yang
keseluruhan atau paling tidak mayoritas rakyatnya merupakan pihak Yahudi.
Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di daerah tersebut telah
tinggal masyarakat Arab, dengan 90% di antaranya beragama Islam. Seiring dengan
berjalannya waktu, wilayah Palestina semakin banyak didatangi oleh pendatang
Yahudi. Hal ini mulai memunculkan konflik-konflik kecil di antara pihak Yahudi
dan Arab karena terjadinya ketimpangan dan diskriminasi yang dirasakan oleh
pihak Arab.
Pihak Arab yang sejak lama tinggal
di wilayah Palestina tentunya tidak merasa senang mengetahui kedatangan dan
intensi pihak Zionis untuk menjadikan tanah Palestina sebagai homeland bangsa
Yahudi. Mereka berusaha melawan dan mencegah pihak Zionis untuk memperoleh
wilayah yang lebih luas karena pihak Arab menyadari bahwa hal tersebut akan
dapat mengancam eksistensi mereka di tanah Palestina. Hal inilah yang pada
dasarnya memicu terjadinya konflik antara pihak Arab dengan pihak Zionis
Yahudi. Pertentangan di antara kedua belah pihak tersebut nyatanya diperumit
dengan kondisi bahwa pada masa itu, wilayah Palestina telah menjadi
bagian daerah kekuasaan dari Kekaisaran Turki Ottoman selama 400 tahun.
Kekaisaran Turki Ottoman yang telah berkuasa lama tersebut pada dasarnya
dianggap sebagai penguasa yang diskriminatif bagi rakyat yang tinggal di
wilayah Palestina tersebut.
Pada awal abad ke-20, Kekaisaran
Turki Ottoman mulai melemah dan kekuatan Barat mulai masuk ke wilayah
Mediterania, termasuk Palestina. Ketika masa Perang Dunia I, seorang komisaris
tinggi Inggris di Mesir melakukan korespondensi tersembunyi dengan salah satu
pejabat Kekaisaran Turki Ottoman. Pihak Inggris meminta bantuan rakyat yang
tinggal di Arab untuk menggulingkan Kekaisaran Turki Ottoman, dan sebagai
imbalannya pihak Inggris akan membantu pendirian negara Arab yang independen,
termasuk Palestina. Korespondensi yang direncanakan ini nyatanya berhasil
menggulingkan kerajaan Turki Ottoman dan Inggris mengambil alih wilayah
kekuasaan kerajaan tersebut selama berlangsungnya Perang Dunia I. Namun
demikian, ternyata pihak Inggris juga membuat perjanjian lain yang bertentangan
dengan korespondensi tersembunyi yang sebelumnya telah dilakukan. Menteri Luar
Negeri Inggris saat itu menyusun sebuah deklarasi yang disebut dengan Deklarasi
Balfour yang isinya mengemukakan bahwa pemerintah Inggris mendukung terciptanya
‘a Jewish national home in Palestine’. Deklarasi ini disusun sebagai
bentuk apresiasi pemerintahan Inggris terhadap dukungan Yahudi yang dianggap
esensial dalam perang melawan Ottoman. Akan tetapi, jelas bahwa deklarasi
tersebut juga mendorong kegelisahan yang dirasakan oleh rakyat Arab, terutama
non-Yahudi.
Setelah perang usai, Inggris dan
Prancis membagi dua wilayah bekas kekuasaan Ottoman dan meyakinkan Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) untuk menyetujui otoritas quasi-colonial mereka
atas wilayah tersebut. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, pihak Arab merasa
kesal terhadap pihak Inggris karena dianggap tidak mampu memenuhi janji atas
pendirian negara Arab yang independen. Di Palestina, situasi yang terjadi jauh
lebih rumit karena Inggris turut mendukung upaya pihak Zionis untuk menjadikan
wilayah itu sebagai homeland bangsa Yahudi. Hal ini mendorong
terjadinya konflik antara pihak Palestina Arab dengan pihak British
Mandate, dan juga Palestina Arab dengan pihak Yahudi. Konflik ini tidak
hanya terjadi satu atau dua kali. Konflik dan pemberontakan ini menelan banyak
korban dan berlangsung selama bertahun-tahun. Seiring dengan terjadinya Perang
Dunia II, pergolakan yang terjadi antara pihak-pihak tersebut akhirnya membuat
Inggris melepaskan mandatnya atas wilayah Palestina.
Pendirian Negara Israel: Perang
Terbuka Pertama antara Pihak Arab-Israel
Inggris menyerahkan kekuasaan untuk
menentukan masa depan wilayah tersebut kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang pada masa itu baru saja terbentuk. Walaupun solusi terbaik tidak mampu
didapatkan, terdapat persetujuan umum di antara komite bahwa perlu dilakukannya
pemisahan di wilayah tersebut untuk memenuhi kepentingan dan kepuasan baik
pihak Yahudi maupun pihak Palestina Arab. Pada November 1947, Majelis Umum PBB
mengumumkan rencana pembelahan negara menjadi dua bagian (UN Partition
Plan), Yahudi dan Arab. Pihak Zionis Yahudi secara publik menyetujui
rencana pembagian oleh PBB tersebut. Namun demikian, pihak Arab melihat apa
yang ditawarkan oleh PBB tersebut sangat berpihak pada pihak Yahudi dan tidak
adil terhadap pihak Arab sendiri. Pengadopsian rencana ini memunculkan kembali
konflik di antara dua pihak. Kedua pihak sama-sama berusaha melindungi
kepentingannya. Namun, karena kualitas pasukan militer Arab tidak sebaik apa
yang dimiliki oleh pihak Zionis, pada 1948 pihak Zionis berhasil mengamankan
kendalinya atas jatah wilayah teritorinya sesuai dengan UN Partition
Plan, dan hal ini menggiring pada proklamasi pemimpin Zionis atas
berdirinya negara Israel.
Kemerdekaan negara Israel
dideklarasikan pada 14 Mei 1948, tepat satu hari sebelum Mandat Inggris atas
Palestina berakhir. Deklarasi tersebut dilakukan oleh David Ben-Gurion, kepala
eksekutif World Zionist Organization sekaligus kepala Agensi
Yahudi bagi Palestina, yang dikenal dengan State of Israel. Berikut
akan diberikan penjelasan mengenai sejarah terperinci, kronologis beberapa
peristiwa yang terjadi sebelum dideklarasikannya kemerdekaan Israel, termasuk
perang yang melibatkan Israel di tahun 1948 melawan beberapa negara Arab.
Kemungkinan terbentuknya sebuah
tanah air yang berdaulat bagi Yahudi di Palestina, telah menjadi tujuan
organisasi Zionis sejak akhir abad ke-19. Menteri Luar Negeri Inggris
menyatakan dalam Deklarasi Balfour tahun 1917:
“His Majesty's government view
with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish
people, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of
this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may
prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in
Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other
country.”
Pernyataan tersebut menunjukkan
dukungan pemerintah Inggris atas pendirian wilayah nasional yang berdaulat bagi
komunitas Yahudi di Palestina. Pemerintah Inggris juga menyatakan bahwa mereka
akan menggunakan usaha terbaik untuk memudahkan tercapainya tujuan tersebut.
Deklarasi Balfour tahun 1917
Sejarah Israel setelah Perang Dunia
II, menurut Daniel Pipes, sangat erat kaitannya dengan relasi antara Inggris
dan komunitas Yahudi (Pipes, 2011). Seiring dengan bergabungnya Haganah dalam
Irgun dan Lehi dalam suatu pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan
Inggris, pada saat yang sama ribuan pengunsi dan korban holocaust Yahudi
yang selamat dari Eropa melihat suatu hidup baru di Palestina. Akan
tetapi, mereka ditolak di tanah yang kala itu masih berada di bawah mandat
Inggris, sehingga mereka ditempatkan dalam kamp-kamp penahanan refugees oleh
orang Inggris.
Pada tahun 1947, pemerintah Inggris
mengumumkan akan menarik mandat terhadap Palestina dengan menyataan tidak dapat
mencapai solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, dalam hal ini
adalah komunitas Arab dan Yahudi. Oleh karena itu, suatu rencana pun diajukan
untuk menggantikan mandat Inggris dengan suatu “Negara Independen Arab dan
Yahudi” dan “Rezim Internasional Khusus untuk Kota Yerusalem” yang dikelola
oleh PBB.
David Ben Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel
Januari 1948
- Pasukan bersenjata Arab memasuki Palestina dan menyerang pasukan Yahudi.
- Pada 1 januari Inggris kemudian menyatakan tidak akan membantu PBB dalam pembagian wilayah Palestina serta akan mengakhiri mandat pada 15 Mei 1948 karena Yahudi dan Arab tidak meyetujui penyelesaian.
Februari 1948
- Hingga februarui perang telah menelan korban lebih dari 2.500 orang.
- Komisi tinggi Arab Palestina menyatakan bahwa “ setiap usaha yahudi atau Negara lain atau kelompok Negara untuk membentuk Negara Yahudi di wilayah Arab merupakan penindasan dan akan dilawan dengan kekerasan sebagai upaya membela diri”. Hal ini kemudian yang membuat Arab terus melakukan penyerangan terhadap yahudi”
19 Maret 1948- Mei
- Amerika megatakan di depan dewan keamanan PBB jika pembagian wilayah palestina tidak disetujui maka harus ada pengawasan dari perwalian sementara PBB. Akan tetapi zionis menolak adanya pengawasan
16 april- 15 mei 1948
- pengajuan proposal dari Amerika Serikat akan tetapi gagal. Akhirnya majelis umum mengajukan Penunjukkan mediator dan komisaris PBB bagi Yerusalem
14 Mei 1948
- Inggris kemudian mengakhiri mandat dan menarik pasukan dari Palestina sehari sebelum tanggal yang dijanjikan.
- Di hari yang sama Dewan nasional di Tel Aviv memproklamasikan Negara Yahudi Israel.
- Presiden Trumen mangakui secara de facto kemerdekaan Negara Yahudi Israel atas nama Amerika.
15 Mei 1948
- Setelah Israel mengumumkan kemerdekannya tentara Arab dari Suriah, Libanon, Transyordania, Irak dan Mesir memasuki Palestina. Pecahnya perang Arab-Israel pertama.
Dalam perang yang
berlangsung selama hampir 10 bulan itu (sejak 15 Mei 1948 hingga 10 Maret
1949—Red), pasukan Yordania, Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, dan Arab Saudi
bergerak ke Palestina untuk menduduki daerah-daerah yang diklaim sebagai
wilayah ‘negara Israel’. Ada sekitar 45 ribu tentara yang dikerahkan oleh
negara-negara Arab tersebut pada waktu itu.
Sementara, di pihak
Israel sendiri awalnya hanya diperkuat oleh 30 ribu prajurit, namun pada Maret
1949 meningkat jumlahnya menjadi 117 ribu tentara. (Yoav Gelber dalam buku
Palestine 1948: War, Escape and the Emergence of the Palestinian Refugee
Problem).
Perang Arab-Israel
Pertama berakhir dengan kekalahan di pihak negara-negara Arab. Menurut catatan,
jumlah tentara Arab yang gugur mencapai 7.000 orang. Perang itu juga menewaskan 13 ribu warga
Palestina. Di samping itu, berdasarkan hasil penghitungan resmi PBB, ada 711
ribu orang Arab yang menjadi pengungsi selama pertempuran berlangsung.
Sebagai akibat dari
kemenangan Israel tersebut, setiap orang Arab yang mengungsi selama Perang
Arab-Israel Pertama, tidak diizinkan untuk pulang ke kampung halaman mereka
yang kini sudah diklaim Zionis sebagai wilayah negara Israel.
Perang Arab-Israel berdampak pada perubahan politik di Timur
Tengah :
- Israel memperoleh kemenangan =) semangatnya yang lebih tinggi, perlengkapan yang baik dan organisasinya yang hebat. Bantuan dari luar negeri, adanya solidaritas yahudi seluruh dunia dan dinas intelijen yang lebih baik.
- Arab mengalami kekalahan hebat =) rendahnya semangat pasukan, buruknya kepemimpinan, intelijen yang kurang baik dan yang lebih parah perselisihan politk di antara Negara-negara Arab.
- Liga Arab =) alat yang tidak memadai. Persaingan antar Mesir dan kerajaan Hashimiyah Transyordania dan Irak menghambat kerja sama.
- Pembantaian kaum Arab, pelanggaran hukum internasional dan pengusiran kaum Arab dari Palestina =) pengungsian besar-besaran ke Negara-negara Arab.
Diposting oleh : defense - today
Perdamaian tidak akan pernah terwujud selama Israel tidak mengembalikan hak - hak bangsa Palestina
ReplyDelete