Setelah berakhirnya PD 2,
dalam rebutan pengaruh dunia, hubungan timur dan barat - blok AS dan Rusia
mencapai titik buruk, "perang dingin" yang panas berkobar dimana mana
termasuk di timur tengah. Berbagai perang regional menyambung berakhirnya PD 2,
di China pasukan Nasionalis keteteran dibawah tekanan pasukan Mao, di Vietnam
Prancis mulai berdarah karena perlawanan gerilyawan Vo Nguyen Giap, di
Indonesia semangat untuk merdeka diwarnai dengan berbagai pertempuran melawan
Belanda yang mencoba kembali berkuasa sedangkan di timteng pada tahun 1948
negara Israel yang baru berdiri langsung terlibat dalam perang Arab-Israel.
Semua perang tadi baik
secara langsung maupun tak langsung juga menjadi ajang perebutan pengaruh
antara blok barat dan blok timur baik dalam bentuk bantuan logistik maupun
diplomatik untuk meraih sekutu baru bagi mereka.
Di tengah semua kemelut
tadi, pada tanggal 23 Juli 1952, kerajaan monarki Mesir yang dipimpin oleh raja
Farouk berakhir dalam satu kudeta yang menjadikan Mesir menjadi republik,
setelah revolusi tersebut muncullah seorang tokoh yang akan mencatatkan namanya
dalam sejarah dunia. ia adalah Gamal Abdul Nasir.
Gamal Abdul Nasir
Pada tahun 1954 setelah
mematahkan gerakan IM (Muslim Brotherhood) dan menjadi presiden resmi, Gamal
Abdul Nasir memutuskan bersikap netral dan pada tahun 1955 ia juga hadir di KAA
di Bandung yang mayoritas terdiri dari negara negara netral.
Namun Gamal Abdul Nasir
selanjutnya mulai mengkampanyekan dan mensponsori gerakan anti Israel dan mulai
condong ke blok Sovyet dan Pakta Warsawa sehingga membikin blok barat geram
melihat manuvernya tersebut, apalagi ia juga mengakui RRC sedang pihak barat
mendukung Taiwan Nasionalis yang kalah perang. Berbagai ketidak enakan
tersebut akhirnya berujung pada mundurnya negara negara barat yang sedianya
akan membiayai bendungan Aswan yang berakibat Gamal Abdul Nasir mengambil
langkah drastis dengan menutup terusan Suez, sekali tembak 2 burung kena,
barat akan payah dalam lalu lintas kapalnya dari Eropa ke Asia dan Israel akan
menangis darah karena dari kanal tersebutlah semua barang keluar masuk negara
tersebut diangkut melalui kapal, sebagai bonus, Gamal Abdul Nasir juga menutup
pula Selat Tiran untuk memastikan hancurnya Israel.
Nasionalisasi Terusan Suez
oleh Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser pada Juli 1956 menyebabkan terbentuknya
aliansi militer Israel-Inggris-Perancis yang merencanakan penyerangan terhadap
Mesir yang dinilai mengganggu kepentingan internasional. Situasi semakin rumit,
dua tahun sebelumnya, tentara Mesir mulai menekan Inggris untuk menarik
pasukannya di terusan Suez.
Tentara Mesir juga menggelar
serangan secara sporadic dengan tentara Israel sepanjang perbatasan dua Negara
tersebut, dan presiden Gamal menyembunyikan rasa antipati dirinya kepada
Israel.
Tentara Mesir menyeberangi terusan Suez
Mesir melakukan
nasionalisasi terhadap Terusan Suez karena kegeramannya terhadap Amerika
Serikat yang sebelumnya berjanji untuk memberikan dana untuk pembangunan
Bendungan Aswan dan Sungai Nil yang tidak dipenuhi.
Nasionalisasi ini dilakukan
untuk memberikan penghasilan kepada Mesir untuk digunakan dalam pembangunan
Bendungan Aswan tersebut. Usaha nasionalisasi ini semakin kuat dengan bantuan
tentara dan dana yang diberikan oleh Uni Soviet, Nasser sendiri dinilai sebagai
Presiden yang berhaluan kiri, sehingga wajar jika mendapatkan bantuan dari
Soviet.
Gamal Abdul Nasir memeriksa bendungan Aswan
Jalannya Pertempuran
Penutupan terusan Suez oleh
Mesir memicu reaksi keras dari Perancis dan Inggris yang paling punya andil dan
kepentingan dari kanal tersebut dan tentu saja Israel yang terancam dengan
kejadian ini.
Menyikapi penutupan kanal
Suez, pada bulan Oktober 1956, petinggi ke 3 negara tersebut bertemu di Sevres
dekat Paris membahas tindakan yang akan diambil untuk membuka kembali kanal
Suez, akhirnya disepakati secara rahasia Israel akan menggedor Mesir dari Sinai
untuk membuka jalan bagi pasukan Inggris dan Prancis yang akan merebut kanal
Suez.
PM Israel memerintahkan
jendral Moshe Dayan untuk mempersiapkan rencana tersebut, sang Jendral bermata
satu tersebut segera menyiapkan mesin perangnya, mobilisasi dan pasukan
cadangan disiapkan, untuk berjaga jaga ikut sertanya Yordan, pertahanan
perbatasan dengan negara tersebut diperkuat.. Israel bersiap menyongsong
perang.
Pada 29 Oktober 1956 jam 3
siang pesawat pesawat tempur Israel beraksi menggempur posisi posisi pasukan
Mesir di Sinai, pada jam 5 sore pasukan linud para Israel telah mulai
diterjunkan sebagai pembuka serangan, sementara di darat pasukan tank dan lapis
baja pimpinan Ariel Sharon membelah gurun menuju pertempuran.
Pasukan tank dan lapis baja Israel membelah gurun
pertempuran sengit segera
pecah, pasukan Israel juga membidik kota Sharm el-Sheikh yang merupakan kota
kunci membobol blokade di selat Tiran, selang sekian hari Inggris dan Perancis
mengultimatum untuk menghentikan perang atau mereka akan mengambil tindakan.
Pada 5 November, pasukan
gabungan Inggris Perancis melibatkan diri dalam pertempuran sebagai upaya
membuka blokade Suez yang dimulai dengan pemboman berat ke pangkalan AU Mesir
yang melumpuhkan kekuatan AU Mesir, menyusul setelah itu pasukan
para Inggris segera mengambil alih lapangan udara El Gamil sementara pasukan
para Prancis menyerang jembatan Raswa dan Port Fuad.
Jalan menuju lapangan udara El Gamil dkuasai
Pasukan Inggris
Begitulah yang terjadi
dengan pasukan Inggris dan Perancis saat berhasil menduduki Terusan Suez.
Namun, hasrat mereka telah menjadikan Uni Soviet bereaksi. Soviet yang merasa
berkepentingan memanfaatkan nasionalisme Arab dan menancapkan hegemoni di Timur
Tengah, memberi suplai senjata dari Cekoslovakia kepada pemerintah Mesir selama
1955, dan kadang membantu Mesir membangun Dam Aswan di Sungia Nil setelah A.S
menolak menjadi penyandang dana. Pemimpin Soviet, Nikita Khrushchev mengecam
invasi tersebut dan mengancam menjatuhkan bom nuklir ke Negara yang melawan
Mesir selama mereka tidak menyerah.
Tanggapan staf resmi
Presiden Eisenhower dirilis, tertulis bahwa Soviet terlalu gegabah mengancam
soal nuklir karena hal tersebut hanya memperkeruh suasana, dan mengingatkan
Khrushchev untuk menarik komentar dari perang yang dijalani Amerika Serikat.
Namun, Eisenhower juga mengisukan penyiagaan lebih kepada Perancis, Inggris,
dan Israel untuk menghentikan hal tersebut, dan dalam beberapa hal untuk tetap
tidak menginformasikan Amerika Serikat tentang perannya.
Amerika Serikat mengancam
ketiga Negara tersebut dengan sanksi ekonomi jika mereka tetap melaksanakan
serangan. Ancaman tersebut berhasil, terbukti dengan mundurnya tentara Perancis
dan Inggris bulan Desember, dan Israel benar-benar tunduk kepada tekanan A.S
pada Maret 1957. Sebagai refleksi dari Krisis Suez, Inggris dan Perancis menyadari
bahwa pengaruh mereka di dunia melemah.
Pada 6 November, pasukan
gabungan Inggris dan Prancis terus bergerak maju hingga ke El Cap dan berhasil
merebut berbagai senjata yang baru dibeli oleh Mesir dari blok timur, secara
militer operasi gabungan ini boleh dibilang berhasil, namun selanjutnya secara
politik dan diplomatik, langkah invasi ini adalah kekalahan fatal terutama bagi
Inggris dan Prancis
Konflik yg sukses
melambungkan pamor Nasser sebagai tokoh dunia Arab. Karena negara
"kecil" macam Mesir ternyata sukses memaksa negara-negara sekaliber
Inggris & Perancis melepaskan kepemilikannya atas Suez
Pasukan Mesir sebenarnya
merupakan pecundang dalam perang ini karena jumlah korban jiwanya jauh lebih
tinggi dibandingkan pasukan gabungan Inggris, Perancis, & Israel. Tapi
perang memang bukan sebatas banyak-banyakan ngebunuh musuh, karena perang ini
membuat 3 negara tadi mendapat tekanan dunia internasional
Diposkan : defense-today
Comments
Post a Comment